Cut Nyak Dien - Pejuang Wanita Yang Tangguh


Cut Nyak Dien dilahirkan di Lampadang, Aceh Besar pada tahun 1850. Nanta Setia, ayahnya adalah Ule-balang VI Mukim, seorang Aceh keturunan Minangkabau. la menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pada awal ia membangun keluarga itu, hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda sangat buruk akibat rencana Belanda untuk menaklukkan kerajaan itu.


Pada tahun 1873 meletus perang Aceh melawan Belanda. Dua tahun kemudian daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda Cut Nyak Dien mengungsi ke tempat lain bersama dengan anaknya yang masih kecil dan terpaksa harus berpisah dengan suami dan ayahnya. Ibrahim Lamnga di kemudian hari gugur dalam pertempuran di Gle Tarum pada bulan duni 1870. Sejak saat itu, Cut Nyak Dien bersumpah akan membalas kematian suaminya dan melibatkan diri dalam perjuangan.


Pada tahun 1880, dia menikah untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar kemenakan ayahnya. Teuku Umar adalah pejuang Aceh yang terkehal karena terlibat dalam perebutan kembali daerah VI Mukim dari tangan Belanda Suaminya itu terkenal katena kecerdikan dan keahliannya memimpin pasukan. Cut Nyak Dien pada bulan Februari 1878 menghadapi serbuan yang hebat dari pasukan Belanda yang menembakkan meriam-meriamnya dari kapat-kapal mereka. Menghadapi tekanan berat itu pasukan Aceh bergerak ke Aceh Besar: Dari wilayah itu para pejuang melancarkan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda dan memaksa Belanda meninggalkannya


Suaminya pada bulan Agustus 1893 menyerahkan diri kepada Belanda dan menjadi tentara Belanda. Di kalangan pejuang Aceh timbul tanda tanya besar tentang sikapnya Cut Nyak Dien yang mendampingi pejuang itu mulai khawatir dan menganjurkan suaminya agar berubah sikap dan mengadakan perlawanan lagi terhadap Belanda. Sebenarnya anjuran itu tak perlu sebab apa yang dilakukan oleh Teku Umar hanyalah taktik belaka, pada saat yang tepat ia terbukti berbalik melawan Belanda. Dalam pertempuran hebat di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Sejak kematian sueminya itu, Cut Nyak Dien yang ketika itu sudah berumur 50 tahun mengambil alih pimpinan pasukan.


Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan gerilya di berbagai daerah. la tidak menghiraukan umurnya sudah semakin tua dan pasukannya makin berkurang ditambah dengan matanya sudah mulai rabun. Situasi perang dengan berbagai ketegangan psikologis menyebabkan kondisi fisiknya melemah ditambah dengan penyakit encok yang menggarogotinya makin menambah beban yang harus dipikulnya.


Keyakinan perjuangannya untuk mengusir kapke ulanda (Belanda kafir) telah mendorongnya untuk terus bertahan. Keadaan fisiknya yang lemah menyebabkan rasa iba di kalangan anak buahnya. Rasa iba melemahkan semangat juang mereka sehingga akhirnya seorang anak buahnya melaporkan kepada pasukan Belanda. Pada saat ditangkap, ia sempat mencabut rencongnya dan dihujamkan kepada pelapor itu tetapi dapat dicegah oleh seorang serdadu Belanda


Tokoh wanita muslimah pejuang itu dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal karena usia tua di kota itu pada tanggal 6 November 1908.


LihatTutupKomentar