Dr Cipto Mangunkusumo - Pendobrak Kemiskinan dan Kebodohan Rakyat


Pahlawan Pergerakan Nasional


Dokter Cipto yang dilahirkan di Pecangakan, daerah Ambrawa, pada tahun 1886 merupakan contoh seorang pribadi yang menjalankan etika profesinya sebagai dokter dengan konsekuen


la dengan sadar mau menanggung dan memikul tanggung jawabnya meskipun hal itu berarti penjara, pembuangan, dan kesulitan-kesulitan lain yang harus dihadapi.


Setamat dari STOVIA (Sekolah Dokter Hindia) dokter Cipto diangkat sebagai dokter pemerintah. Pada awalnya, ia merasa bahwa dengan jalan itu, ia dapat mengabdikan keahliannya pada masyarakat. Tatkala bertugas di Demak, ia melihat keadaan kemis-kinan dan penderitaan masyarakat di kawasan itu. Sebagai seorang cendekiawan, dokter itu dapat melihat bahwa penyakit itu tidak datang dari langit melainkan sebagai akibat keadaan kemiskinan dan kebodohan masyarakatnya. Kemiskinan dan kebodohan itu bukan akibat ulah masyarakat di daerah itu tetapi bersumber pada kondisi sosial masyarakat yang terjajah. Analisis analisisnya yang tajam itu ditulis dan dipublikasikan dalam harian De Ex press dan berbagai surat kabar lain.


Reaksi pemerintah kolonial sangat keras dengan memperingatkan agar dokter itu berhenti menulis di surat kabar, jika ingin tetap menjadi dokter pemerintah. Namun, dokter Cipto tetap konsekuen dengan terus menulis di surat kabar dan melepaskan jabatannya sebagai dokter pemerintah. Sikap konsekuen itu ditunjukkan juga ketika pada tahun 1912, ia menerima bintang Orde van Oranje Nassau (kepahlawanan Belanda) atas jasanya memberantas wabah pes di Kepanjen, Malang. Tindakan itu dijalankan karena banyak dokter Belanda yang menolak tugas untuk membasmi wabah tu. Meskipun demikian, dokter Cipto mengembalikan bintang jasanya kepada pemerintah Belanda karena izin tugas untuk memberantas wabah pes di daerah Solo tidak diberikan kepadanya.


Dari perjuangan di lapangan kedokteran dokter Cipto melihat bahwa letak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kehadiran penjajah Belanda. Kesadaran ini menumbuhkan minatnya untuk menekun masalah-masalah politik. Bersama dengan E.F.E. Douwes Dekker, da R.M. Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (IP, Partai Hindia pada tahun 1912 yang merupakan partai politik pertama di Indonesia. Partai ini atas dasar nasionalisme untuk menuju kemerdekaan Indonesia sebaga "perumahan nasional bagi semua orang baik bumiputera, Belanda, Cina dan Arab yang mengakui Hindia sebagai negara dan kebangsaannya Pandangan itu dikenal sebagai nasionalisme Hindia (Indsche Nationa ism).


Pada tanggal 13 Maret 1913, IP yang diwakili oleh Douwes Dekker Cipto Mangunkusumo, dan I.G. van Ham menghadap Gubernur Jendra untuk memohon pe-ngesahan tetapi ditolak Artinya, IP dilarang bergerak d tengah masyarakat. Karena protes terhadap rencana perayaan 100 tahu terbebasnya Negeri Belanda dari pen-jajahan Perancis, ketiga serangka itu dibuang ke pembuangan di negeri Belanda. Di Negeri Belanda, dokter Cipto bekerja sebagai redaktur De Indier yang bercorak politik radika sebagai kelanjutan perjuangan politiknya di Hindia Belanda Pada masa pembuangan itu, penyakit asmanya kambuh sehingga harus dipulangkan ke Indonesia.


Meskipun berbagai pembatasan dikenakan nama dokter Cipto tetap tidak surut dari pergerakan politik. Tempat tinggalnya di Bandung merupakan tempat berkumpul tokoh-tokoh pergerakan di sekitar Soekarno. Di samping itu la aktif membina Institut Kesatrian. Institut ini merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Danu Dirjo Setiabudi, rekannya di Indishche Partij (IP), pada tahun 1922. Kegiatan-kegiatan politik itulah yang menyebabkan ia dibuang ke Bandaneira setama tiga belas tahun lamanya. Dari Bandaneira dokter pejuang itu dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat dan akhirnya di Jakarta.


Dokter Cipto masih menyaksikan runtuhnya pemerintah kolonial Belanda, lawan yang tidak jemu jemunya ditentangnya dengan penyerahannya tanpa syarat di Kalijati pada tahun 1942 Pemerintah Belanda diganti dengan Bala Tentara Jepang yang tidak kalah kejamnya. Bangsanya tetap menunggu uluran tangan dan semangat juangnya mengusir penjajah yang terakhir ini namun kesehatannya terus menurun. Akhirnya, ia menutup mata untuk selama-lamanya di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1943 dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.


Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964.


LihatTutupKomentar